Perang Gerilya Vietnam-Indonesia: Membongkar Mitos melalui Perbandingan Filosofi Strategi Gerilya

Ada beberapa mitos yang beredar mengenai gerilya Vietnam-Indonesia. Apakah mitos-mitos ini bisa dibuktikan secara nyata, atau hanya sekadar bualan belaka?

Ahmed Akmal Agassi
8 min readAug 22, 2020

Peperangan gerilya termasuk ke dalam jenis peperangan yang paling terkenal, sejarahnya merentang sejak zaman kuno hingga modern, bertransformasi seiring dengan peperangan “konvensional”. Perang gerilya akan tetap ada selama manusia ada. Peperangan ini sering disebut sebagai “perjuangan si Lemah melawan si Kuat” atau “perjuangan rakyat yang tertindas” oleh masyarakat awam, tetapi definisi tersebut sangatlah umum dan tidak memberikan penjelasan lebih mengenai perbedaan antar-“mazhab” peperangan gerilya.

Dari sekian banyak mazhab peperangan gerilya, ada dua di antaranya yang sering terlibat di dalam diskusi sejarah orang-orang Indonesia: Nasution (Wingate) dan Mao. Keduanya menjadi dasar dari gerilya Indonesia pada tahun 1947–1949 dan gerilya Vietminh-Vietcong pada tahun 1944–1975. Keduanya pula telah memicu perdebatan publik tiada akhir mengenai mitos yang menyelimuti kedua mazhab tersebut. Sebagai contoh, beberapa orang berkata bahwa Vietnam berhasil mengalahkan Prancis dan Amerika karena mereka diajari ilmu gerilya oleh Indonesia, khususnya oleh salah satu jenderal kenamaan TNI AD, Abdul Haris Nasution. Yang lain (dan cukup banyak) berkata bahwa cara kedua negara menjalankan peperangan gerilya adalah sama. Sayang sekali, klaim-klaim seperti itu sangat berlebihan dan tidak memiliki bukti sejarah pendukung.

Menurut Pokok-Pokok Gerilya (Fundamentals of Guerrilla Warfare) yang ditulis oleh A. H. Nasution sendiri, peperangan gerilya yang dikobarkan oleh Vietminh dalam Perang Indochina Kedua adalah perang untuk mengalahkan musuh di akhir perang dan pasukan digerakkan dalam skala operasi divisional (10.000–25.000 orang) serta dimobilisasi melalui tahap-tahap strategis yang terencana. Deskripsi ini sangat tepat jika kita melihat kembali Pertempuran Dien Bien Phu tahun 1954. Dalam pertempuran tersebut, kedua belah pihak bertempur dalam pertempuran parit konvensional dengan dukungan artileri berat dan senjata lainnya. Kutipan Nasution tersebut membuktikan bahwa sesungguhnya Indonesia-lah yang belajar dari pengalaman gerilya Vietminh. Sementara itu, kita perlu mengingat bahwa buku Nasution dirilis pada tahun 1953. Tentu tidak logis apabila Vietminh mempelajari peperangan gerilya dari buku tersebut karena mereka telah meninggalkan gerilya dan beralih ke peperangan konvensional.

Selanjutnya, untuk memudahkan kita dalam membedakan kedua gaya gerilya ini, kita dapat menganalisa mazhab asal dan filosofi mendasar dari gerilya Indonesia dan Vietminh-Vietcong.

Dua buah mahakarya literatur peperangan gerilya diperbandingkan bersama.

Melalui buku Võ Nguyên Giáp, Chiến tranh nhân dân, Quân đội nhân dân (People’s War People’s Army), diketahui bahwa orang-orang Vietnam mempelajari gerilya dari dan terinspirasi oleh sebuah negara, tapi itu bukanlah Indonesia. RRT yang dipimpin Mao Zedong lah yang menginspirasi jenderal kawakan Vietnam itu untuk mengobarkan Perang Rakyat Berkepanjangan, sebuah konsep perlawanan terhadap pasukan asing yang lebih besar menggunakan seluruh sumber daya rakyat dan menjalankan strategi tiga tahap, dijelaskan dalam karya Mao, On Protracted War.

“(…) it can reasonably be assumed that (a) protracted war will pass through three stages. The first stage covers the period of the enemy’s strategic offensive and our strategic defensive. The second stage will be the period of the enemy’s strategic consolidation and our preparation for the counter-offensive. The third stage will be the period of our strategic counter-offensive and the enemy’s strategic retreat.”

(Mao, 1938)

Seperti yang juga dinyatakan Mao dalam tulisan lainnya, On Guerrilla Warfare, peperangan gerilya dilaksanakan pada tahap pertama dan kedua, yaitu pada saat ia mengumpulkan kesiapan keorganisasian dan posisi markas pasukan. Langkah tersebut diikuti oleh pengembangan pasukan gerak cepat yang lebih mirip pasukan konvensional pada tahap kedua dan ketiga untuk mengalahkan musuh dalam sebuah (atau serangkaian) serangan telak. Konsep Mao ini telah diimplementasikan dalam perlawanan terhadap Pasukan Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia Kedua dan Pasukan Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai-shek pada Perang Saudara Tiongkok. Kemenangannya dalam Perang Saudara Tiongkok pada tahun 1949 merintis jalan bagi Vietminh lalu diikuti oleh Vietcong untuk menjalankan strategi gerilya serupa sekaligus menjamin aliran bantuan senjata berat menuju Vietnam untuk tiga dekade selanjutnya.

Dalam Perang Indocina Kedua dan Perang Vietnam, gerilya Vietminh-Vietcong dilaksanakan untuk mengikat dan menyibukkan pasukan musuh di dalam wilayahnya sendiri, sementara Vietminh-Vietcong dapat mengumpulkan dan melatih pasukan konvensionalnya. Ya, Giáp menerapkan strategi tiga tahap dari Mao dan mengembangkannya, menambahkan fleksibilitas peralihan gerilya-serbuan frontal yang masif. Seiring berjalannya waktu — terutama pasca-Serangan Tet 1968 yang gagal — pasukan gerilya Vietcong dikurangi dan peran utama beralih kepada pasukan konvensional NVA. Perang modern yang berkecamuk selama belasan tahun ini serta bantuan pelatihan dari Soviet dan RRT membentuk banyak veteran perang Vietminh yang mengokohkan kesatuan dan persatuan pasukan mereka. Bisa kita katakan bahwa kedua perang tersebut secara tidak langsung adalah ajang transformasi NVA (Tentara Vietnam Utara) dari sekadar pasukan amatir menjadi pasukan semi-profesional.

Dalam konteks perdebatan ini, kita juga perlu mendalami strategi tempur utama Vietminh-Vietcong yang dikenal sebagai strategi “Đấu Tranh” (perjuangan) yang dikembangkan dari konsep asli Mao. Strategi ini berfokus pada integrasi upaya politis dan militer dalam perjuangan suatu negara. Garis besarnya kurang lebih seperti ini:

Politik

• Dan Van — Aksi di dalam rakyat

Mobilisasi propaganda total untuk memanipulasi massa dan unit perlawanan internal.

• Binh Van —Aksi di dalam militer musuh

Subversi dan propaganda untuk menggugah desersi, pengkhianatan, dan menurunkan moral pasukan musuh.

• Dich Van — Aksi di dalam rakyat musuh

Upaya propaganda total untuk menumbuhkan sikap pengalah, perbedaan pendapat, pengkhianatan populasi musuh.

Militer

• Fase 1: Organisasi dan persiapan

Membentuk sel, menyebarkan propaganda, mengumpulkan senjata, dll.

• Fase 2: Peperangan gerilya

Serangan teroris, sabotase, serangan kejutan, serbuan gerilya, dll.

• Fase 3: Peperangan konvensional

Formasi dan operasi reguler untuk merebut tujuan strategis dan taktis.

(Pike, 1986) dan (Giáp, 1961)

Dengan memahami fase terakhir upaya militer Đấu Tranh, kita mengerti bahwa Đấu Tranh memiliki tujuan akhir menghancurkan dan mengeluarkan musuh dari Vietnam secara paksa. Tujuan ini dapat diwujudkan melalui sejumlah serangan skala besar seperti Serangan Tet 1967, Pertempuran Ban Me Thuot, dan Serangan Musim Semi 1975 yang melibatkan ratusan ribu pasukan NVA disokong oleh peralatan berat seperti tank, artileri, pesawat tempur, dsb. Serangan Musim Semi 1975, pada khususnya, menunjukkan bagaimana NVA mampu mengerahkan lebih dari 270.000 tentara, 1.000 pucuk artileri, 320 tank, dan 250 kendaraan lapis baja ke dalam medan pertempuran. (Le G. & William E., 1981) Pasukan seperti ini sudah jelas bukanlah sekadar “pasukan petani” dengan senapan AK-47 dan caping di kepalanya, julukan yang sering disematkan oleh sebagian orang Indonesia kepada pasukan Vietnam secara umum.

Di sisi lain, dalam kasus Indonesia, gaya gerilya-nya dikembangkan dari sebuah mazhab gerilya yang dipopulerkan oleh seorang perwira Inggris, Brigadir Jenderal Orde Charles Wingate. Wingate sendiri terkenal karena unit Chindit-nya (juga dikenal sebagai British Indian Long Range Penetration Groups) di Burma pada Perang Dunia II. Pasukan Chindit bertugas menginfiltrasi wilayah Jepang dan melakukan peperangan gerilya untuk merusak dan menganggu komunikasi serta jalur logistik Jepang, didukung oleh suplai dari udara menggunakan Hudson dan Dakota di Agartala. Pasukan yang berorientasi pada manuver ini dikritisi karena jumlah korbannya yang tinggi, tetapi mereka dapat menjalankan tugasnya dan mendapat kesan yang bagus dari Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. (DIANE, 1990)

Filosofi dari gerilya ini kurang lebih digambarkan oleh salah satu kutipan Wingate:

“Small forces cannot prevent larger forces from carrying out their plan. They can, if properly used (,…) compel the larger force to alter its plan by creating an important diversion, i.e. by positive and not negative action. Forces which have the role of penetration should never, therefore be told to prevent the enemy from carrying out some operation, but should be given the task of surprising and destroying some important enemy installation or force, which will have the effect of changing the enemy’s plan.”

(Anglim, 2015)

Nasution mengenal cerita dan konsep Wingate dari sebuah buku yang ia dapatkan dari temannya di Singapura. Nasution benar-benar terinspirasi oleh Wingate hingga ia menamakan seluruh operasi gerilya TNI di Pulau Jawa sebagai “Operasi Wingate”. Ia menggunakan kata “wingate” untuk menggantikan kata “bergerilya” atau bahkan” gerilya” secara umum. (Turner, 2017) dan (Moehkardi, 2019)

Dalam perang kemerdekaan 1947–1949, Nasution kemudian mengimplementasikan ide Wingate dengan cara melakukan serangan kejutan, infiltrasi, hingga bumi hangus sembari berusaha sebisa mungkin menghindari kepungan dan pertempuran terbuka, karena ia tahu betul pasukannya sama sekali tidak memiliki kesempatan melawan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap dan memiliki dukungan logistik yang cukup kuat. Ini merefleksikan tujuan utama Nasution untuk mehabiskan tenaga dan melemahkan moral pasukan Belanda, serta membuat pendudukan Indonesia yang lebih lama menjadi terlalu mahal bagi pasukan Belanda yang saat itu merekrut banyak pemuda tanpa pengalaman tempur. Alih-alih mengalahkan dan menghancurkan musuh seperti Vietminh, gerilya Nasution hanya bertujuan untuk mengganggu upaya peperangan musuh, membuat keadaan menjadi buntu bagi musuh dan kemudian mereka terpaksa mundur dengan sendirinya.

Hal ini terjadi karena begitu terbatasnya “daya tempur” yang sangat dibutuhkan Indonesia untuk mengusir Belanda dari kepulauannya. Nasution mengakui kekurangan ini dengan berkata,

“Maka kita berperang gerilya bukanlah karena kita menganut “ideologi” bergerilya, melainkan karena kita diharuskan, karena telah tidak mampu menyusun kekuatan yang berorganisasi sekadar modern, yang setara [dengan Belanda]. Maka gerilya kita pun baru pada tingkatan meelahkan musuh, belum sampai dapat menghancurkannya walaupun bagian demi bagian.”

(Nasution, 1953)

Selain itu, ada faktor lain yang membatasi strategi Nasution. Pasukan Indonesia pasca kemerdekaan umumnya tidak terlatih dan persenjataannya terbatas. Kedisiplinan dan keorganisasian pasukan juga payah, hanya segelintir pasukan eks-PETA/Heiho/KNIL yang dapat bertempur dengan lebih efisien. Tidak seperti Vietnam Utara yang dengan mudah didukung oleh Tiongkok dan Soviet melalui jalur darat, udara, dan laut, Indonesia sangat terisolasi oleh kondisi geografisnya sendiri. Menyelundupkan senjata berat menjadi sangat sulit jika bukan mustahil, karena menurunkan peralatan seperti tank dan artileri membutuhkan derek pelabuhan yang masih dikuasai oleh Belanda atau kapal pendarat khusus yang hanya dimiliki oleh segelintir negara pada masa itu. Belum lagi tidak adanya penyedia persenjataan yang dapat diandalkan. Uni Soviet baru saja memulihkan diri dari perang dan tidak akan berani memicu perang besar melawan Belanda yang didukung oleh Sekutu, lagipula keuangan Indonesia pada saat itu masih sangat memprihatinkan dan tidak menjanjikan bagi penyuplai manapun. Mau tidak mau, Indonesia harus mengandalkan persenjataan bekas Jepang yang sangat terbatas.

Untuk meringkas tulisan ini, berikut adalah perbedaan kedua gaya gerilya:

Vietminh-Vietcong:

Peperangan gerilya adalah satu dari tiga tahap strategi perang, dilaksanakan untuk mendukung kampanye pasukan konvensional di garis depan pertempuran dengan tujuan akhir mengalahkan, menghancurkan, dan mengusir musuh dari wilayah rakyat.

Indonesia:

Peperangan gerilya adalah perang rakyat semesta dan berperan sebagai inti utama dari segala upaya perang, tidak hanya sebagai unsur pendukung saja. Peperangan ini sebisa mungkin “memeras darah musuh” dalam jangka waktu yang lama hingga musuh mundur dari wilayah rakyat dengan sendirinya.

Dengan semua pertimbangan di atas, kita harus mengerti perbedaan mendasar dari gaya gerilya antara Indonesia (gaya Wingate) dan Vietminh-Vietcong (gaya Mao) serta berhenti menyatakan klaim yang keliru, atau yang secara lebih ekstrem dapat saya sebut sebagai: tuduhan tak berdasar.

Bibliografi:

Moehkardi. 2019. Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949. Yogyakarta: UGM PRESS.

Turner, Barry. 2017. A. H. Nasution and Indonesia’s Elites: “People’s Resistance” in the War of Independence and Postwar Politics. Lanham: Lexington Books.

Anglim, Simon. 2015. Orde Wingate and the British Army, 1922–1944. New York: Routledge.

McVey, Ruth T. 2009. The Soviet View of the Indonesian Revolution: A Study in the Russian Attitude Towards Asian Nationalism.

DIANE Publishing Company. 1990. Merrill’s Marauders: February to May, 1944. Pennsylvania: DIANE Publishing. Singapore: Equinox Publishing.

Pike, Douglas. 1986. PAVN: Peoples Army of Vietnam. New York: Presidio Press.

Le Gro, Colonel William E. 1981. From Cease-Fire to Capitulation. Washington, D.C.: United States Army Center of Military History.

Zedong, Mao. 1967. On Protracted War: Selected Works of Mao Tse-tung. Peking: Foreign Languages Press.

Nasution, Abdul H. 1965. Fundamentals of Guerrilla Warfare. New York: Frederick A. Praeger.

Giáp, Võ N. 1961. People’s War People’s Army. Hanoi: Foreign Languages Publishing House.

Zedong, Mao. 1937. On Guerrilla Warfare.

--

--

Ahmed Akmal Agassi

Newfound repository of my heritage. A military, history, science, and engineering enthusiast. Seeking to combine the four disciplines into my writings.